Seharusnya Kita Tidak Boleh Takut (Cerpen)
“Aku ingin berhenti sekolah!!!” sentakku pada ibu yang sedang membereskan piring-piring kotor di meja makan.
“Kenapa nak?” tanya ibu dengan nada bingung.
“Aku ingin hidup normal bu!!!”
“Kan selama ini Raka hidup normal tidak ada yang cacat nak?” jawab ibu sambil menenangkan suasana.
“Tapi ibu tidak tahu apa yang terjadi selama ini di sekolah!!!” sentakku lagi dengan nada yang lebih tinggi.
Aku berlari ke kamar, membanting pintu kamar kemudian menguncinya dari dalam. Ibu membiarkanku pergi begitu saja karena dia tahu apa yang sedang aku rasakan, nalurinya memang luar biasa.
Aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur, memandangi langit-langit kamarku yang berwana putih kusam, terdapat sarang laba-laba di setiap sudutnya. Aku pandangi kembali isi kamarku yang dari dulu tidak pernah berubah. Buku-bukuku yang selalu tertata rapi di meja belajar, lemari, cermin, semuanya sama, tidak ada perubahan. “Apakah selama ini aku berubah?”, tanyaku dalam hati. Pikiranku langsung memutar kembali kejadian-kejadain yang terjadi selama ini. Seperti ada proyektor yang muncul dari otakku dan memantulkan cahayanya ke langit-langit kamarku. Aku bisa melihat secara jelas kejadian tadi siang ketika aku pulang sekolah berjalan bersama Dika sahabatku.
“Heh! Tadi kamu hebat banget di kelas tahu!” teriak Dika dengan pembukaan percakapannya yang khas sambil merangkul pundakku.
“Biasa aja, dari dulu aku hebat kali!” jawabku sekenanya sembari aku melepas tangannya dari pundakku.
“Tapi tadi kamu tu hebat buangett, kamu bisa menjawab semua soal matematika yang di berikan pak Tejo, it’s amazing!”
“Lebay lo!”
“Sumpah yaahh, ketika kamu maju ke depan tadi tu semua anak di kelas termasuk pak Tejo bengong melihatmu bisa menjawab semua soal logaritma yang menurut aku tu sulit buangett tahu!”.
“itukan soal yang mudah Dika?”
“Mudah buat lo, nggak buat gue, huuu..!!” kesal Dika sambil memajukan mulutnya 3 cm.
Tiba-tiba segerombolan anak memakai sepada ontel menghentikan langkahku dengan Dika. Aku melihat ada sesosok anak yang tak asing di mataku. Bertubuh besar, berkulit hitam, dan berambut kriting, dengan pakaiannya yang lusuh seperti tidak pernah dicuci oleh ibunya, dia berada paling depan pada gerombolan itu. Ya benar dia adalah Dion, ketua geng itu. Aku sudah tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapku, mereka pasti akan mengejekku. Tapi tidak untuk sekarang, dia turun dari sepedanya kemudian menghampiri aku dan Dika yang dari tadi terdiam melihat mereka karena saking takutnya.
“Woy! Bocah aneh! Sok menjadi anak jenius! kamu seharusnya punya malu! Masih umur 15 tahun sudah berani masuk kelas XII terus sok pinter lagi di kelas! Kembali saja kamu kekelas X! Ngaca! Kamu punya cermin gak dirumah! Hah!” teriak Dion sambil menarik kerah seragamku keatas.
“Hahahahahhahaha” semua anak yang ada disitu mentertawakanku kecuali Dika yang dari tadi masih terdiam disampingku karena saking takutnya.
“Sok dewasa! Inget! kamu itu masih kecil, masih bayi, masih unyu-unyu! jangan masuk kekelas kami dech, kalau bisa keluar aja!” tambah Rachel yang sudah berada disamping Dion. Sontak semua anak disitu menertawakanku kembali.
“Iya” jawabku singkat dengan nada yang lirih. Aku menunduk takut melihat tubuh Dion yang jelas lebih besar daripada aku.
“Dasar anak nggak punya malu, anak aneh!” teriak Dion seraya melepaskan tangannya dari kerah seragamku.
Akhirnya Dion dan teman-temannya pergi dengan mengantongi rasa kepuasan masing-masing telah mengolok-olok aku. Aku dan Dika masih terpaku ditempatnya masing-masing, melihat kepergian mereka dengan pandangan sinis. Ingin sekali aku membalasnya atau melemparnya dengan batu, tapi itu tidaklah mungkin aku lakukan.
Tiba-tiba mataku terasa panas, ada cairan yang memaksa keluar dari mataku, aku meneteskan air mata. Terlintas dalam hati, aku bertanya, “Kapan penderitaanku akan berakhir?” Semakin banyak air mata yang keluar, semakin banyak pula yang terbayang. Kejadian-kejadian yang aku alami selama ini, anak-anak yang mengejekku baik itu ngomong langsung di depanku atau yang ngomongin aku dibelakang. Sakit sekali hati ini mengingat itu semua. Aku berdo’a dalam hati, “Ya Allah berilah aku yang terbaik Ya Allah”. Aku menghirup nafas panjang kemudian aku keluarkan melalui mulut. Aku melakukannya berkali-kali hingga aku tertidur lelap.
Pagi hari kepalaku terasa pusing, badanku panas, aku berjalan menuju wc dengan pandangan berkunang-kunang. Semua terasa gelap, dan bleekk... aku tak sadarkan diri.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, yang aku ingat tiba-tiba aku merasakan rasa dingin di jidadku. Kubuka mataku perlahan-lahan, aku pandangi apa yang ada di sekelilingku. Aku sadar aku berada di kamarku lagi. Kompresan ini yang menyadarkanku, tadi aku pingsan.
Dari balik pintu muncul sesosok wanita yang tak asing lagi, pakaiannya bersih, wajahnya bersinar, terbalut kain sederhana dikepalanya, langkahnya anggun, membawa mangkok yang atasnya masih mengepulkan asap. Dengan wajah tersenyum dia menghampiriku, kemudian duduk disampingku.
“Nak, hari ini kamu istirahat dulu ya, tidak usah berangkat sekolah, kamu lagi demam” ibu membuka pembicaraan kami sambil mengganti kain kompres dikepalaku.
“Maafkan Raka atas kejadian tadi malam ya bu?” kataku dengan pandangan menunduk karena merasa bersalah.
“Sebenarnya ada masalah apa di sekolah nak? Tolong ceritakan pada ibu” tanya ibu sambil memasukkan sesendok bubur kedalam mulutku.
“Bu, setelah Raka akselerasi dari kelas X kekelas XII semuanya terasa berubah, semua anak menganggap Raka anak yang aneh, anak sok jenius. Mereka selalu mengejekku dengan kata-kata itu. Ada yang ngomong langsung didepan Raka, ada juga yang ngomong di belakang, bahkan ada yang mengancam Raka, suruh pindah kekelas X lagi” jelasku dengan nada kesal sambil mengunyah bubur yang ada dimulutku.
“Nak, itu sudah kebijakan sekolah mempercepat belajarmu karena kamu emang sudah layak ada di kelas XII. Itu tandanya Raka anak yang istimewa, bukan anak yang aneh. Harusnya Raka bersyukur atas itu” jawab ibu dengan nada tenang sambil memberikanku segelas air putih, dan meminumkannya.
“Iya..... Raka tahu itu bu, tapi......!” tiba-tiba aku terdiam, aku tidak ingin mengulang kembali kejadian tadi malam.
“Jika ada orang berbicara mengenai kita di belakang, itu adalah tanda bahwa kita sudah di depan.”
“Saat orang bicara merendahkan diri kita, itu adalah tanda bahwa kita sudah berada di tempat yang tinggi.”
“Saat orang bicara dengan nada iri mengenai kita, itu adalah tanda bahwa kita sudah jauh lebih baik dari mereka.”
“Saat orang bicara buruk mengenai kita, padahal kita tidak pernah mengusik kehidupan mereka, itu adalah tanda bahwa kehidupan kita sebenarnya ‘lebih indah’ dari mereka.”
Nasihat ibu bagaikan kekuatan yang datang dari langit masuk kedalam tubuhku, segar dan menyejukkan hati, seperti ada energi baru untuk menghadapi hari esok. Aku tidak perlu takut lagi akan ejekan teman-temanku, karena kalau mereka mengejekku berarti tandanya aku sudah berada didepan. Aku harus bersyukur akan itu.
Backlink here.. Description: Seharusnya Kita Tidak Boleh Takut (Cerpen) Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Seharusnya Kita Tidak Boleh Takut (Cerpen)
Share your views...
0 Respones to "Seharusnya Kita Tidak Boleh Takut (Cerpen)"
Posting Komentar